- Back to Home »
- dks , EXO , FanFiction , KaiSoo , kji »
- [FF] Once We Loved // KaiSoo
Posted by : Oh Sehun
Saturday, April 26
Tittle : Once We Loved
Author : violetkecil
Genre : Slight Angst, Bromance
Genre : Slight Angst, Bromance
Rated : PG-13l
Length : Oneshot
Cast : EXO Do Kyungsoo (DO) and Kim Jongin (Kai)
Pairing : Kaisoo, ninja! Hunhan
Cast : EXO Do Kyungsoo (DO) and Kim Jongin (Kai)
Pairing : Kaisoo, ninja! Hunhan
Disclaimer :
NO silent reader and Plagiarist please. DO NOT take
ideas/plagiarize, dialogues and others from my story.
*****
Kyungsoo berdiri di depan sebuah pondok kecil di taman
rumah sakit. Tidak tampak bunga, hanya ada pepohonan yang ditutupi salju tipis.
Pertengahan Januari dan hawa dingin membuatnya harus merapatkan mantel tebal
sepanjang lutut. Sore itu seperti sore sebelumnya, hanya saja ia tidak lagi
mengenakan setelan rumah sakit di bawah mantel coklat tebal. Akhirnya ia bisa
melihat dunia luar sejak terkurung dalam kamar persegi dengan dominasi warna
putih selama enam bulan.
Selembar kertas lusuh di tangan kiri dengan tangan
kanan di pegangan pintu. Ia menghela nafas panjang. Memikir berulang kali
apakah semua ini benar-benar bisa diterima akal sehat. Jika memang benar dan
nyata akan terjadi, apakah ini keputusan yang tepat?
Kyungsoo memandang sekali lagi kertas lusuh yang ia
temukan seminggu yang lalu di teras pondok kecil. Pondok yang tidak ia ingat
ada di sana ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di taman itu sebulan yang
lalu. Kyungsoo menghela napas lagi. Berat. Dan jantungnya berdetak begitu
cepat. Kepalanya sedikit sakit sekarang dan itulah alasan kenapa ia berada di
depan pondok tua ini.
Ayolah Kyungsoo,
ia meyakinkan dirinya. Ia tidak akan menyesali ini. Ia hanya ingin tahu sebelum
ia berada di meja operasi dengan dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, ia
melupakan semuanya dan kedua, ia meninggalkan semua.
Sekali lagi ia membaca tulisan tangan yang terukir di
atas kertas itu. Open the door
and one step to your wish.
Kyungsoo membuka pintu. Hanya satu langkah masuk ke
dalam pondok tua. Ia memejamkan mata ketika bunyi lantai kayu berderit di bawah
kakinya. Sebaris kalimat terucap dari bibirnya yang pucat.
***
Ia membuka mata. Tidak ada seorang anak kecil yang
berlari menyeberang jalan. Tidak ada mobil yang melaju cepat. Tidak ada dirinya
yang berlari ke tengah jalan. Tidak ada bunyi decitan ban mobil dan teriakan.
Tidak ada darah yang mewarnai aspal hitam. Tidak ada semua itu. Keringat mengalir di keningnya. Sejenak ia ketakutan.
Berdiri kaku dan tidak tahu bagaimana cara menggerakkan tubuh. Semua yang ada
di sekitarnya seakan kabur dan hanya ia dalam semua kefanaan hingga seseorang
menepuk punggungnya.
“Sorry. Are you okay?”
Ia mengedipkan mata. Orang yang tadi menepuk
punggungnya sekarang berdiri di depannya dengan wajah disejajarkan wajahnya.
Mata yang hangat menatapnya penuh tanya. “Are you okay?” Ia mengibaskan
tangan di depan wajah Kyungsoo.
“I-I-am okay,” lirihnya.
“Good then.”
Kyungsoo kembali membeku. Waktunya bergerak dalam
detak yang tidak bisa ia tebak. Dan di sana ia berdiri, seperti enam bulan yang
lalu. Di depan semua kampus, sebelum ia berakhir di ranjang rumah sakit dalam
koma selama dua minggu.
***
Cermin yang memenuhi hampir seluruh sisi ruangan itu
memantulkan bayangan seorang pemuda dengan kulit sedikit agak gelap. Tubuhnya
bergerak seirama dengan musik yang memenuhi seisi ruangan. Setiap gerakan
seakan mengungkapkan makna. Terkadang lembut dan tajam. Tatapan matanya
tertutupi rambut yang agak basah karena keringat.
“Jongin-ah!”
Ia
melirik pemilik suara yang mengganggu waktunya. Satu gerakan dan kemudian ia
mematikan i-Pod. Pemilik suara dengan doe-eyes duduk di sudut ruangan dan Jongin
menghampirinya.
“Ada apa, Hyung?
Tidak bersama Sehun?”
“Dia masih ada kelas.”
“Oh…” Jongin mengambil handuk kecil dari dalam tas dan
duduk di sampingnya.
“Kau sudah tahu namanya?”
“Siapa?” Jongin mengambil botol minuman dan meminumnya
dengan cepat.
“Pemuda yang kau ceritakan di telepon tadi. Pemuda
yang kau temui di depan kampus pagi ini, dan kemudian kau melihatnya lagi di
perpustakaan siang ini. Pemuda yang menurutmu sedang bingung dan seperti berada
di tempat yang salah. Pemuda yang—“
“Oh, Luhan Hyung,
cukup. Aku tidak habis pikir bagaimana Sehun betah bersamamu selama ini.
Bagaimana Sehun sanggup bertahan dengan kemampuanmu berbicara cepat sepanjang
rel kereta api, huh?”
“Yah Kim
Jongin! Because he loves me.”
“Aku tahu. Aku cukup melihat bukti cinta di antara
kalian berdua. Hyung,
kalian melawan dunia dan pandangan sosial dengan cinta seperti itu.”
“Kau akan menjadi bagian itu?”
“Hei, aku tidak jatuh cinta pada pemuda itu.”
“Kau belum jatuh cinta. Tapi kau sudah tertarik
padanya.”
“Tidak, Hyung. Hal yang tidak mungkin terjadi. I’m—“
“Straight as Tao’s
wushu stick, huh? Kau tidak bisa melabeli dirimu seperti itu sebelum kau
memastikan perasaanmu.”
“Aku tidak mungkin jatuh cinta pada ‘seorang pemuda’.”
Jongin menekan kata terakhir.
“Banyak hal yang tidak mungkin menjadi mungkin.”
“Tapi itu tidak benar, Hyung. Kalaupun hal itu
terjadi, aku tidak sekuat kau dan Sehun. Aku tidak sanggup menerima padangan
negatif dari orang-orang di sekitarku.” Ia menenggelamkan wajah di lutut dengan
kedua tangan meremas rambut.
“Orang hanya bisa menerima apa yang selama ini
terbentuk dalam pandangan sosial dan dianggap benar. Kita tidak hidup hanya
dalam apa yang bisa terima orang lain karena mereka tidak tahu apa yang kita
lalui dan rasakan. Kata benar dan salah hanya label yang mempersempit dunia.”
Jongin diam.
“Jongin-ah, kita harus mengambil langkah untuk
hidup kita. Kita dan bukan orang lain. Persetan dengan
apa yang orang katakan jika itu membuatmu lebih hidup. Lebih bahagia.”
Luhan menepuk pundak Jongin dan berdiri. “Sehun
mungkin sudah selesai. Kau tahu ke mana menghubungiku jika ingin bicara. Bye, Jonginie.”
Luhan menghilang di balik pintu dan Jongin masih
berada di posisi yang sama. Ia mengatur nafas sebelum mengambil tas dan berlari
ke luar dance room. Tanpa
sengaja menabrak seseorang hingga hampir terjatuh. Pemuda yang beberapa menit
lalu ada dalam pembicaraannya dengan Luhan.
“I’m so sorry,” Jongin membungkuk berulang
kali.
“It’s okay.”
“Ah, kita bertemu lagi,” Jongin meraba belakang
lehernya ketika merasakan aliran aneh.
“Iya,” segaris senyuman mendampingi kata singkat itu.
“Jongin. Kim Jongin.”
“Ne?” Mata bulat membesar penuh tanya dan itu
justru membuat jantung Jongin berdetak semakin cepat.
“My name. My
name is Kim Jongin.”
“I’m Kyungsoo.
Do Kyungsoo.” Pemuda itu mengulurkan tangannya dan Jongin menyambutnya dengan
luapan bahagia.
“Wanna grab some coffee?” tawar Jongin.
“Sure.”
Mereka berjalan berdampingan menuju coffee shop yang tidak terlalu jauh dari kampus.
Sore itu seperti biasa jalanan tidak pernah sepi. Dinginnya cuaca tidak lantas
membuat beberapa orang lebih memilih mendekam di dalam ruangan. Beberapa
pasangan berjalan dengan tangan bergandengan. Dan Jongin, dengan tangan yang
sesekali menyentuh tangan Kyungsoo, merasakan desakan untuk meraih tangan itu
dan menggenggamnya. Tapi coffee
shop sudah di depan mata,
sepuluh langkah menuju pintu yang akan berbunyi jika dibuka.
Entah mengapa suara lonceng di atas pintu terdengar
lebih merdu bagi Jongin. Apakah seperti yang dikatakan orang tentang suara
lonceng dan cinta? Jongin menggelengkan kepala pelan.
Mereka duduk di sudut coffee shop dan memesan dua gelas coffee latte. Kyungsoo memegang
gelas kopi dengan kedua tangan dan meniup asap kecil yang mengepul dari gelas.
Jongin tidak melepaskan padangan dari seraut wajah di depannya.
“Jadi kita di kampus yang sama? Aku tidak pernah
melihatmu.”
Kyungsoo hanya tersenyum, “Kau hanya belum melihatku.
Kita mungkin akan bertemu lagi.”
Kyungsoo tahu itu. Dari perasaan dan tatapan mata itu.
Ia tahu pemuda di depannya adalah jawaban dari sebaris kalimat ‘let fate
lead me to someone I love and love me back’ yang ia ucapkan di depan pondok
tua itu. Ia tersenyum.
Mereka lebih banyak diam dan tidak banyak yang kata
yang terucap. Hanya satu atau dua pertanyaan. Kyungsoo bertanya tentang apa
yang Jongin lakukan dan pemuda itu dengan antusias menceritakan kecintaannya
pada dance. Kyungsoo lebih
banyak bertanya dan Jongin akan menjawabnya. Kyungsoo tahu ia mungkin akan
melupakan semua jawaban itu tapi ia percaya hatinya akan mengingat ketika
pikirannya tidak lagi mengingat.
“Do you believe in fate?”
Jongin tersentak dengan pertanyaan itu. Tidak ada
angin atau badai salju, mereka baru saja berkenalan dan tiba-tiba pertanyaan
seperti itu terlontar dari bibir pucat Kyungsoo.
“I do.”
“Kau tahu legenda Cina tentang benang merah yang
terikat di jari kelingking. Ujung benang merah di jari kelingking kita terikat
dengan ujung yang lain. Benang merah yang mengikat dua orang untuk bertemu,
dalam suatu waktu, tempat dan keadaan. Ikatan yang mungkin renggang atau kusut
tapi tidak pernah putus. Kau tahu?”
Jongin memandang mata bulat Kyungsoo yang bersinar
hangat namun menyimpan rahasia atau mungkin kesedihan yang tidak mampu ia baca.
“Aku tahu.”
“Kau percaya?”
Jongin mengangguk. Kata-kata Luhan tiba-tiba bergema
di telinganya dan legenda Cina itu melebur menjadi sebuah logika tentang cinta
baginya. “Aku percaya,” ucapnya.
Kyungsoo hanya tersenyum. Dan aku juga percaya.
It’s you,
batin keduanya bersamaan.
Mereka menghabiskan sore dengan memandang langit yang
perlahan jingga dari balik kaca coffee
shop. Sesekali saling memandang dan melemparkan senyuman atau tertawa
kecil. Jongin tanpa ragu menarik tangan Kyungsoo dan menggenggamnya.
“Aku harap kita bertemu lagi,” Jongin memaknai setiap
kata yang ia ucapkan. Seakan itu sebuah doa.
Kyungsoo tersenyum dan mengulurkan tangannya yang
bebas—menyentuh pipi Jongin. “Kita akan bertemu.”
Kyungsoo mendekatkan wajahnya dan menyetuh pipi Jongin
dengan bibirnya yang dingin. “I believe and I promise.”
Kyungsoo berlalu dari hadapan Jongin sebelum ia bisa
membuka suara. Ia mendengar suara lonceng berbunyi. Kyungsoo menghilang di
balik pintu tapi Jongin tidak melihat bayangannya sedikitpun.
Jongin duduk lemas. Sendiri dan ia tidak bisa
mereka-ulang apa yang baru saja terjadi. Ada perasaan bahagia dan sakit dalam
bersamaan. Seperti ada ledakan yang membuatnya ingin menangis tapi ia tidak
tahu kenapa dan ia tidak bisa mengeluarkan air mata. Jongin sekali lagi menoleh
ke arah pintu. Ada yang tertinggal di hatinya. Ada yang hilang dari
pandangannya.
***
“Bye, Jonginie.”
Luhan melambaikan tangannya sebelum berlari kecil
mengejar Sehun yang sudah berjalan keluar coffee
shop. Jongin tertawa kecil melihat kedua orang sahabatnya itu. Jongin
belajar banyak dari mereka. Persahabatan, cinta dan makna hidup. Jongin
memikirkan ulang kalimat yang sering Luhan ucapkan padanya di dance room.
“Kita harus mengambil langkah untuk hidup kita. Kita
dan bukan orang lain.”
“Kita tidak hidup hanya dalam apa yang bisa terima orang
lain karena mereka tidak tahu apa yang kita lalui dan rasakan.”
Jongin yakin Luhan adalah penasihat Kaisar Cina di
kehidupan sebelumnya. Ia menyesapcoffee latte dan melemparkan pandangan ke luar
jendela coffee shop. Ia
memilih tinggal ketika Sehun dan Luhan mengajaknya menonton film. Ia ingin
berlama-lama memandangi sore perlahan jingga. Mungkin saja ia akan menemukan
seseorang yang membuatnya jatuh cinta.
“Kita tidak perlu alasan untuk jatuh cinta. Hati sudah
jatuh sebelum otak kita mencari alasan. Jadi biarkan itu terjadi. Dan kau tidak
bisa memilih, bisa saja kau akan jatuh cinta pada seseorang orang yang berdiri
kaku di depan kampus atau seseorang yang kau lihat dari balik jendela coffee shop.”
Jongin menghentikan pikirannya tentang kalimat yang
pernah Luhan ucapkan. Sayup ia mendengar suara lonceng dan pintu coffee shop yang ditutup. Sekilas ia menangkap
bayangan dan kemudian matanya menangkap sesosok yang seakan sudah sangat ia
kenal sedang berjalan dengan kedua tangan di saku mantel. Mantel coklat gelap.
Mata bulat. Bibir pucat.
“Kita akan bertemu.”
“I believe and I promise.”
Kalimat itu menggema dalam pikirannya dan ia bisa
melihat bayangan dengan mata hangat. Ia memegang pipinya. Jongin yakin ada
bibir lembut yang terasa begitu dingin menyetuh pipinya.
Jongin kemudian berpikir ia terlalu banyak berkhayal.
Itu kesimpulan akhir menurutnya.
***
Kyungsoo mengisi seluruh rongga paru-paru dengan
udara. Ia merindukan udara luar Seoul, bukan aroma rumah sakit. Ia memejamkan
mata—menikmati setiap sensasi yang menggelitik rongga dadanya. Ia berdiri
dengan mata terpejam di sana hingga seseorang menepuk punggungnya.
“Sorry. Are you okay?”
Ia mengedipkan mata. Orang yang tadi menepuk
punggungnya sekarang berdiri di depannya dengan wajah disejajarkan wajahnya.
Mata yang hangat menatapnya penuh tanya. “Are you okay?” Ia mengibaskan
tangan di depan wajah Kyungsoo.
“I-I-am okay,” lirihnya.
“Good then.”
Pemuda itu berbalik dan berjalan menuju gerbang kampus
tapi kemudian mendadak berhenti dan menatap Kyungsoo yang sedang menatapnya
juga. Kyungsoo mengernyitkan dahi.
“Apakah kita pernah bertemu?” tanya pemuda itu.
Kyungsoo tidak mengingat ia pernah bertemu pemuda di
depannya, tapi semua tentang pemuda itu terasa begitu familiar. Ia hanya
tersenyum. “Kita mungkin belum pernah bertemu tapi mungkin kita akan bertemu
lagi.”
Senyum Kyungsoo membuat matanya bersinar hangat, “I
believe and I promise.”
Pemuda itu membalas senyumannya dan berjalan menuju
gedung dengan dance room di lantai 4. Kyungsoo membetulkan
letak tas di punggungnya dan melihat peta kampus yang sedang ia pegang,
“Perpustakaan,” gumamnya.
Once, we loved each other and we’ll love each other
again and all over again…
*****
KKEUT
note: What is it? EXO got me into ‘things’ (read:
‘bromance story’) like this. Blame hunhan and kaisoo for their flawless. So,
this is for my dongsaeng Septaaa. Sorry dear, it’s not the story I told you
before. I’m working with
that story now, but it’s Hunhan focus… so I decided to write special Kaisoo
story. It’s about loosing memory and looping time >_< if you notice it
though~ Hahaha… it’s kinda vomit-word and I type this story nonstop for hours.
Comments are love. Give me
Luhan love by your comments then~
keren kata-katanya /jempol/
ReplyDeleteaku harus baca dua kali baru ngerti maksudnya hehe
kaisoo <3
ReplyDelete